R. Panji Kamzah
Ing tahun Masehi 1858
(tahun jawa 1787)
*********
Katurun / Kajiplak
Dening;
R. Panji Karsono
Ing tahun Masehi 1920
(tahun jawa 1857 sasi pasa)
**********
(mencoba) disadur, dialihbahasakan dan ceritakan ulang
Oleh;
Galih Pandu Adi
Di tahun Masehi 2012
(tahun jawa 1945 bulan puasa)
*******************
Pesanku, ingat-ingatlah
Buku CARITA LASEM ini supaya disalin persis, untuk anak cucuku turun-temurun, isi dan kandungannya jangan sampai dirubah. Bukunya kalau sudah sampai usang segeralah di salin dengan yang baru, lantas simpanlah rapat-rapat di tempat yang tersembunyi, jangan boleh dipinjam siapapun, nanti ketahuan antek-antek Belanda. Kalau sampai ketahuan, yang punya catatan ini pasti di hukum Negara.
Sesekali jika menuju sepi dan tak ada lagi yang mesti dikerjakan, jangan lupa cepat-cepatlah membaca buku catatan Carita ini, Carita kakek moyang leluhur kita sendiri di waktu jaman dahulu kala. Agar anak turunmu mengerti dan mengingat pesan leluhur yang selalu mewanti-wanti anak turun semua agar selalu menjaga keluhuran Kabudayan Jawa, leluhur kita. Janganlah kau mabuk, mengunggul-unggulkan kebudayaan orang Maghribi ngatas-angin.
Kelak, jika telah ada yang berubah dari zaman, Priyayi di suruh menanam pohon Mandira di setiap desa, orang-orang Ngarga dan Murya duduk bersila dalam tembang dan kidung Dharmagita, berteduh di bawah payung kembang Tunjung Silugangga; itulah saat penjajah Belanda sudah kacau balau, kocar-kacir. Carita Lasem ini boleh dibaca siapa saja. Yang meinginkan punya boleh menyalin setamatnya, dan boleh juga ditularkan sebebas-bebasnya.
Buku CARITA LASEM ini disalin menjiplak buku yang telah usang dan compang-camping. Buku dari almarhum ayahku yang mengembara; kutulis secara sembunyi dan diam-diam pada tahun jawa 1857 bulan Puasa, di rumah Karangturi Kemendhung.
mBah Karsono
Modine wong Jawa lan Cina
sa Lasem
******************
Bismillah, Niyatingsun nulis Carita Lasem
Awighnam Asthu
Sebelum Pustaka Sabda Badrasanti kusalin dan kutembangkan, akan ku ceritakan riwayat para leluhur Lasem, serta muasal turunnya Wahyu Sabda Badrasanti, juga pasang surutnya lelakon hidup pada jaman dahulu; menurut cerita atau catatan para leluhur di Lasem yang diwariskan untuk anak cucu turun-temurun, yang mestinya merawat dan menjaga pesan dan pelajarannya. Sekarang kutulis menurut keadaan yang sebenarnya, bukan cerita yang telah diselewengkan oleh orang-orang lain yang lancang.
Beginilah ceritanya,
Pada tahun Syaka 1273, adalah Dewi Indu yang menjadi Ratu di Lasem, Beliau adik nakdulur misanane (adik saudara sepupunya) Prabu Hayam Wuruk di Wilwatikta (Majapahit). Dewi Indu seperti Dewi Srikandhi, cantiknya yang teduh seperti bulan purnama. Semua orang di Lasem sampai memberi julukan kepadanya dengan nama: Dewi Purnama Wulan.
Suaminya bernama Pangeran Rajasawardana, yang menjadi Dhang Puhawang (Panglima Perang Angkatan Laut) di Wilwatikta (Majapahit), menguasai kapal-kapal perang di pelabuhan Kaeringan dan Pelabuhan Regol di Lasem; juga merangkap menjadi Adipati (Pemimpin/Bupati) di Mataun. Pangeran Rajasawardana tampan seperti Harjuna, pintar menembang dan merayu, karena itu ia di beri nama lain: Raden Panji Maladresmi. Mereka berdua begitu rukun dan mesra dalam berumah tangga sampai tua, sampai akhir hayatnya, ibaratnya seperti kemesraan Sang Hyang Kamma Rati dan Sang Hyang Kadharpa.
Dewi Indu meninggal sejak tahun Syaka 1304, Pangeran Rajasawardhana pada tahun 1305; abu perabuan mereka berdua dibuatkan candhi di Gunung Argasoka sebelah Utara. Tepat di sebelah timur Candhi Ganapati Pucangan di bukit Ngendhen.
Candhi perabuan Dewi Indu dan Pangeran Rajasawardhana di buat dari batu Gombong, di lapisi dengan batu Chendani; diapit teduh pohon beringin Brahmastana kembar, di sebelah utara dan selatan Candhi. Pucak Candhi terukir arca Sang Hyang Buddha Sakyamuni, dikurung dalam kelopak puspa widuri; tingkat di bawahnya di tempati arca Dewi Indu yang diukir seperti Sang Bathari Sri Lokeswara di dalam Sanabangta. Undhag bertingkat seperti bukit yang tingginya sedada, pada muka candhi sebelah timur diukir gambar Sang Panji Maladresmi akan berangkat perang, berpamitan kepada Dewi Purnamawulan. Muka candhi sebelah barat tampak gambar Sang Panji sedang merayu dan menentramkan Dewi Purnamawulan yang bersedih karena ditinggal perang sampai akhir mengepung prajurit Pasundhan yang mengabdi sampai mati kepada Sang Baduga Rajanya. Dan setelahnya orang-orang Lasem memberi nama candhi tersebut dengan nama candhi “Malad”.
Pada waktu kerajaan Lasem di perintah oleh Ratu Dewi Indu, wibawa dan pengaruh Sang Prabu Putri begitu besar. Pemerintahannya adil, lurus, dan kencang. Wilayah kekuasaan sang Ratu Lasem ibarat bumi Jawa yang terbelah menjadi dua. Dari Pacitan dan sepanjang sungai/bengawan Genthong sampai pertemuan sungai/bengawan Silugangga di Pangkah Sidayu. Sedangkan semua tanah sepanjang timur bengawan dan semua pulau-pulau se-Nusantara menjadi daerah kekuasaan Prabu Hayam Wuruk ; yang mana kedua pemerintahan tersebuah menjadi satu di bawah kekuasaanNgawantipura Wilwatikta (Kerajaan Majapahit).
Sang Prabu Putri Lasem seperti Bathari Bodhisatwa Awalokiteswara, yang selalu memberi pengayoman dan memberi keberuntungan kepada rakyat semua. Para Punggawa kerajaan sujud dan berbakti, para rakyat memuji dan meluhurkan namanya.
Negara Lasem yang begitu sejahtera, gemah ripah loh jinawi, menghadap laut di kelilingi gunung dan perbukitan, di belakang hutan pejaten, tergelar sawah yang berbanjar, membentang sayup dan teduh sampai habis penglihatan mata. Lereng gunung Argapura tampak bergerumbul beraneka macam pohon-pohonan. Menjadi rumah bagi berbagai hewan yang berlari-larian. Di setiap pagi terdengar suara burung Merak yang bernyanyi merdu, ayam hutan yang berteriak membahana; burung-burung mengoceh dan makan dari buah beringin dan buah dhuwet atau buah trenggulun, yang tampak lebat dan matang-matang.
Kota Lasem tampak asri dan sejahtera, karena begitu banyaknya pohon buah-buahan yang di tanam sepanjang jalan. Kraton Dalem bertempat di bumi Kriyan, taman-sari balekambang Kamalaputri berada di sebelah tenggara Kraton; banyak pohon kamal-tropong yang tumbuh lebat. Sepanjang kerajaan banyak ditanami pohon sawo kecik, setiap perempatan dan pertigaan jalan ditanam pohon beringin. Setiap halaman rumah tampak pohon kelapa gadhing punyung sepasang, yang buahnya bergelantungan, lebat dan berjejal-jejalan ; tersisipi bunga-bunga beraneka warna ; mawar, melati, gambir, ketongkeng, arumdalu (sedap malam), kemuning dan pacar printhil. Di sebelah kanan kiri rumah ada pohon sawo manela, mangga golek, jambu lumut dan jambe.
Di pekarangan desa berjajar pohon-pohon dengan buah bergelantungan; pohon nangka, blimbing, kelapa dan lain sebagainya. Sepanjang kebon, ladang, ditanami pohon bogor (pohon siwalan); menghasilkan legen (nila pohon siwalan), siwalan dan lontar. Lontarnya digunakan untuk menulis catatan, cerita ataupun pustaka sabda dan tembang-tembang yang digubah. Legen (nila siwalan) dibuat untuk gula atau badheg. Di antara pohon-pohon bogor/siwalan ini ditanami pohon randu yang dirambati tanamanan suruh yang hijau dan segar, suruh ini dipakai untuk jamu/obat sakit perut.
Rumah pembesar dan pejabat di bagian depan tampak asri pohonan sinom/daun asam muda di belakang joglo, rumah Gebyog dari kayu jati yang dihiasi ukiran kekembangan. Rumah para abdi dalem di sekeliling kota, rumah dara-gepak tampak asri bagus dengan pagar anyaman bambu ori yang bersimpul anyam-anyaman limang pakan, yang menjadi lambang dari “Pancawignya” (yaitu: Gotrah (pemimpin Keluarga), Pekah, Pomah (Keluarga), Kradah (Sanak Saudara), dan Pamerintah). Dalem Kraton di tata dengan berbagai hiasan, landasan Saka-Guru dari Watu Selad yang dipahat dan diukir dengan motif Kembang Tunjung, langit-langit penuwun (atap) dhada-peksi tumpang-sari bertingkat tujuh, ganja pipilan curi lumah kurep; rumah Gebyok dihiasi ukiran pending melati selangsang. Dindingnya dari batu bata persegi yang besar-besar dan halus, kepala rumah terpayungi dengan atap papan dengan wuwungan ditutup dengan gendheng(atap rumah dari tanah liat) yang diukir cantik.
Pada waktu itu, agama orang-orang di Lasem adalah agama Syiwa dan Buddha, tapi kedua-duanya menjadi satu dalam Dharma. Padepokan sebagai tempat belajar dan mendalami agama Syiwa berada di Butun Punthuk (tanah tinggi/bukit) Gebang, dan di Samodrawela; dan Panembahan Maha Guru di Butun -lah yang pertama kali mengajarkan ilmu Kasunyatane Hyang Widdhi Esa. Sedangkan padepokan tempat mengajar agama Buddha berada di Punthuk Punggur, juga di Ratnapangkaja. Tempat bagi para mPu Pujangga dan Sarjana yang memuja Sang Hyang Ganapati, berada di PucanganGumuk(bukit) Ngendhen.
Dewi Indu menurunkan pangeran Badrawardana, Pangeran Badrawardana menurunkan Pangeran Wijayabadra, Pangeran Wijayabadra menurunkan Pangeran Badranala. Tiga keturunan trah Dewi Indu inilah yang kemudian turun-temurun menjadi Adipati di Lasem dan tetap menempati Dalem Kraton Indu di bumi Kriyan.
Pangeran Badranala menikah dengan Putri Campa bernama: Bi Nang Ti, menurunkan dua putra; bernama Pangeran Wirabraja dan Pangeran Santibadra. Setelah meninggalnya Pangeran Badranala, yang kemudian menggantikan sebagai Adipati Lasem adalah Pangeran Wirabraja, putra sulungnya.
Selama Pangeran Wirabraja menjadi bupati, belau tidak bertempat di Puri Kriyan Lasem, tetapi pindah dan bertempat tinggal di bumi Bonang Binangun, pada tahun Syaka 1391; berdekatan dengan tempat kubur Rama (ayah) Ibunya di punthuk/bukit Regol. Sedangkan Puri Kriyan ditempati oleh Pangeran Santibadra beserta anak istri dan keturunan-keturunannya.
Pada waktu Pangeran Wirabraja berpindah dan menetap di Kadipaten Binangun itulah, orang-orang yang berdagang dengan berlayar sepanjang Tuban, Gresik, dan Ngampel sebagian telah memeluk agama Rasul (Islam); meninggalkan agama Syiwa dan Buddha. Karena agama Rasul lebih mudah, syarat-syaratnya juga lebih hemat dan ringan; tidak terlalu banyak upacara-upacara dan sesaji beraneka macam yang hanya menghabiskan harta denda. Karena itu, orang-orang di sepanjang tanah pesisir utara lantas dengan rela dan ikhlas meninggalkan agama Syiwa dan Buddha.
Pangeran Wirabraja menurunkan Pangeran Wiranagara; yang sejak kecil sudah belajar mengaji agama Rasul di Ngampelgadhing. Di kemudian hari Pangeran Wiranagara diambil mantu oleh Maulana Rokhmat Shunan Ngampelgadhing, dijodohkan dengan putri sulungnya yang bernama Malokhah. Pangeran Wiranagara kemudian menggantikan ayahandanya menjadi Adipati di Binangun, memerintah menjadi Adipati selama 5 tahun tetapi kemudian meninggal dunia pada tahun Syaka 1401 ; pemerintahan kemudian dilanjutkan oleh istrinya, Putri Malokhah, janda muda yang baru berumur 28 tahun yang pada waktu itu telah berputra dua ; yang sulung bernama Solikhah, dan yang bungsu baru umur setahun telah meninggal, yang pada saat itu suaminya masih hidup.
Tahun Syaka 1402 dalem Kadipaten Binangun kemudian dipindah lagi ke Lasem oleh putri Malokhah, menetap di bumi Colegawan, berhadap-hadapan dengan dalem Kapangeran Puri Kriyan; yang pada waktu itu ditempati pangeran Santipuspa, Putra sulung Pangeran Santibadra, yang saat itu menjabat sebagai Dhang Puhawang atau Raja/penguasa Lautan di pelabuhan Kaeringan. Dalem Kadipaten Putri Malokhah menghadap selatan, di sebelah utara delanggung (jalan) besar, banyak pohon sowo kecik dan kembang kanthil. Sedangkan bekas Kadipaten Bonang ditempati oleh adik Putri Malokhah yang bernama Makdum Ibrahim, yang masih perjaka kelahiran tahun Syaka 1376 ; dan menjadi Kyai (ulama) guru agama Rasul dan menjadi Muadzin. Yang ketika telah berumur 30 tahun akhirnya diwisudha oleh Shunan Agung Ngampel, dijadikan Wali Negara Tuban yang mengurusi segala urusan agama ke-Rasulan, dan mendapatkan drajat/pangkat sebagai Shunan bertempat di Bonang Lasem, menapak tilas rumah kakak perempuannya, Putri Malokhah.
Tugas utama sebagai Makdum Ibrahim sebagai amanat dari kakak perempuannya, Putri Malokhah, untuk menempati bekas Kadipaten Bonang adalah untuk ikut merawat dan menjaga kuburan Putri Campa Bi Nang Ti sekeluarga yang berada di Puthuk Regol ; serta kuburan Pangeran Wirabraja dan Pangeran Wiranagara yang di kebumikan di bumi Keben. Shunan Bonang begitu taat dan berbakti merawat kuburan Eyang Putri Campa ; Batu Gilang yang ada di sekitar makam dipangkas dan diratakan, dijadikan tempat untuk sujud dan bertafakkur. Berbakti untuk terus merawat Eyang Putri Cempa Bi Nang Ti.
Dalem Kadipaten yang dipindah di Lasem tepatnya di bumi Colegawan oleh Putri Malokhah sebenarnya karena agar ia dapat lebih dekat dengan Pangeran Santipuspa, karena sang Pangeran dijadikan benteng dan pengayoman, serta menjadi penasehat bagi Sri Adipati Putri Malokhah. Para abdi dalem se-Kadipaten Lasem begitu menaruh sungkan, hormat dan begitu mencintai Pangeran Santipuspa, terlebih-lebih para abdi Pambelah di sepanjang Pesisir, sejak dari Menco Dhemeg (Demak) sampai ujung Brondong Sedayu; yang begitu takut dan begitu berbaktinya kepada Pangeran Santipuspa, salah satu Dhang Puhawang (penguasa/panglima laut) yang dianggap telah dikasihi olehSang Hyang Waruna. Yang ke Kedua, Pangeran Santipuspa adalah adik ipar (besan) Putri Malokhah, yang bisa menghibur kesusahan dan kepedihan Putri Malokhah setelah ditinggal mati suami dan putra bungsunya yang baru berumur satu tahun, sewaktu masih menetap di Kadipaten Bonang Binangun. Juga atas kepergian Putri pertamanya, Sholikhah, yang diboyong oleh suaminya, yaitu Arya Jin Bun ; Bintara Dhang Puhawang di Dhemeg (Demak).
Karena itu, untuk menghibur hati dan pikirannya, Putri Malokhah membuat membuat rumah dan taman di tepi pesisir Kaeringan, berdekatan dengan Candhi Samodrawela, candhi pemujaan para Pambelah yang memuja Sang Hyang Waruna ; taman tersebut dinamakan “Taman SITARESMI”.Setelah jaman berubah dan penuh carut marut dan kehancura, nama itu lantas diganti oleh manusia-manusia yang adigung cumanthaka (lancang dan menyombongkan kekuasaannya) , di ganti dengan nama : “Taman Caruban”.
Di dalam usahanya untuk menghibur dan menentramkan diri itulah, putri Malokhah ditemani oleh Pangeran Santipuspa ; yang mana keduanya saat itu menginjak umur 32 tahun. Wajah putri Malokhah seperti Dewi Banowati, sedangkan Pangeran Santipuspa seperti Raden Premadi. Setelah Makdum Ibrahim diwisudha menjadi Wali Negara dengan sebutan Shunan Bonang, beliau semakin kencang sekali mengajarkan dan menyebar-luaskan agama Rasul Islam di tanah Lasem sampai Tuban. Berkebalikan dengan kakak perempuannya, Putri Malokhah, setelah pindah di Puri Kadipaten Lasem, karena begitu seringnya berkumpul dan bertukar pikiran dengan adik ipar-nya, Pangeran Santipuspa, putri janda cantik Malokhah lantas berubah, tersilap oleh Ilmu dan Ajaran Pangeran Santipuspa ; Putri Malokhah menjadi semakin kendur bersembahyang sholat lima waktu, serta tidak berpuasa di bulan Ramadhan. Shunan Bonang Makdum Ibrahim jadi sangat tercengang setelah mengetahui kakak perempuan yang begitu dihormatinya telah berubah begitu jauh dari Agama. Karena itulah amanat dari kakak perempuanya, Putri Malokhah, lantas tidak lagi diindahkan ; Shunan jadi begitu sering meninggalkan dan tidak lagi merawat Pundhen Regol dan Keben, berpindah di Tuban dan tidak mau pulang sampai berbulan-bulan.
Putri Malokhah menjadi janda sampai meninggal pada umur 39 tahun ; membawa pemerintahan Lasem tanpa ada satupun bencana dan huru-hara, karena kebijaksanaan dan wibawa Pangeran Santipuspa yang membantu Putri Malokhah memerintah Kadipaten. Setelah meninggalnya Putri Malokhah kekuasaan Kadipaten Lasem lantas dirangkap oleh Sang Dhang Puhawang Pangeran Santipuspa, dengan dibantu oleh adiknya bernama Pangeran Santiyoga yang diamanahi untuk menempati Kadipaten Lasem.
Ratusan tahun jauh setelah Pangeran Santipuspa dan Putri Malokhah keduanya meninggal dunia, di masa pemerintahan Kadipaten Lasem di pegang oleh kekuasaan Bupati SuroadimanggoloIII, pemerintahan yang dibuat oleh Belanda Kumpeni Semarang, lantas lahirlah cerita yang salah, yang diselewengkan, yang dibolak-balik, dirubah dari yang sebenarnya. Nama Putri Malokhah dan Putri Campa Bi Nang Ti dan semua keturunannnya dijelek-jelekkan oleh manusia yang begitu benci. Dikarang, dibuat cerita oleh orang-orang yang begitu mabuk kekuasaan. Mabuk surga dan licik akalnya ; mencuri cerita, nekat menghancurkan dan berani menerjang peraturan ; berani mengarang cerita asal-asalan demi kepentingannya masing-masing.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar